KONTEMPLASI 2023; Skripsi_Final.docx
Sesuai judulnya, post ini bakal berisi kilas balik tahun 2023.
Highlight dari semua event di 2023 bagiku adalah tentang skripsi yang final battle-nya pas aku sidang skripsi awal Oktober lalu.
Aku pernah punya mimpi konyol kalau aku pengin lulus sebelum ultahku yang ke yang 22. Karena aku lahir akhir tahun, aku pikir bakal seneng banget rasanya bisa dapat gelar sarjana di umur 21 kalau aku lulus tepat waktu saat itu.
Tapi realita berkata lain.
Aku baru sidang di H+6 ultahku yang ke-23. It's not a big deal of course, tapi tetap ada perasaan nggak nyaman tentang hal itu. Aku nggak pernah cerita tentang ini ke siapapun dan baru cerita ini di sini.
Ada sedikit rasa lega ketika aku ultah dan aku udah nyerahin berkas sidang ke jurusan meskipun aku baru bisa sidang beberapa hari setelahnya.
Pembicaraan tentang skripsi dan kapan lulus itu udah jadi sesuatu yang offensive banget buat mahasiswa semester akhir. Tiap ada orang yang bahas itu bawaannya pengen salty mulu. Padahal kan cuma nanya.
Tapi beneran deh, kalau kalian nggak punya urgensi tertentu buat nanya, mending diem. Soalnya pertanyaan "remeh" yang konstan kayak gitu efek psikologisnya nggak remeh sama sekali.
Aku pernah berpikir kalau skripsi itu cuma "gitu doang". Apa sih yang susah? Orang cuma kek nulis makalah doang. Kenapa sih orang-orang bikin seakan hal itu kayak something big, gitu.
Well... Setelah merasakannya sendiri, ternyata ya... gampang-gampang susah. Kalau inti dari skripsian cuma ngetik dan olah data sebenarnya nggak sesusah itu juga, tapi nggak bisa dibilang gampang juga.
Aku sendiri juga nggak tau struggle utamaku di mana. Hal itu nggak sesederhana kayak dosbing yang susah ditemuin, atau judul dan penelitiannya susah, atau kita yang suka nunda-nunda.
Tapi seenggaknya, menurutku ada 3 hal yang kalau aku bisa ubah itu sangat menentukan, kayaknya aku bisa lulus lebih cepet.
1. Kontribusi dosbing
Kalau saat penentuan dosen pembimbing kamu dapet dosen yang baik hati, gampang ditemui, dan gampang diajak diskusi, kamu udah menyelesaikan lebih dari 50% masalah utama mahasiswa akhir.
2. Semangat tempur
I don't want to say, orang-orang yang lulus lama itu males. Tapi some of them punya masalah dengan itu apapun pemicunya. Of course, me too.
Karena punya masalah di point sebelumnya, tiap bimbingan aku merasa capek banget. Tiap berangkat bimbingan itu rasanya umurku nambah tua setahun. It's too tiring, jadi semangat tempur buat nyelesain juga harus lebih besar dari mahasiswa lain yang dosbing nya "gampang".
Motivasi buat nyelesain skripsi itu nggak hanya sesederhana omongan "gue pengen lulus cepet". Tapi lebih kek... "SUMPAH GUE PENGEN BANGET LULUS WOY". You need to put 1000% effort buat keep going dengan segala masalah yang kamu hadapi pas skripsian.
3. Emotional Support
The most important aspect kalau 2 point sebelumnya kamu miss. Honestly, I envy people who have good emotional support around them because I feel I am lack of it.
Nggak kehitung berapa kali aku merasa pengen nyerah. Nyerahnya itu nggak cuma kek mau udahan skripsian aja, tapi kek udah mau nyerah sama hidup.
Lebay banget nggak sih, masa gara-gara skripsian doang pengen mati. Tapi itu beneran. Dan aku masih ngerasain struggle itu bahkan saat H-2 sidang. Rasanya pengen meninggal aja. Gue udah capek.
Tiap agenda nangis mingguan, I wished someone would be there for me to hug me and tell me everything will be fine. But, I couldn't ask about it from anyone.
Mengetahui hal itu, sebenarnya aku harusnya lebih aware buat konseling karena emang mentalku tidak stabil bahkan sebelum skripsian but... Ya... aku nggak melakukan itu.
So good for you kalau kamu punya lingkungan yang supportif dan nggak sempat melewati masa depresot saat skripsi dan mempertimbangkan buat pergi konseling.
Anyway, tentang sidang skripsiku... aku merasa bahwa itu adalah sebuah keajaiban— yes, I still feel like it's a magic, aku bisa sampai ke tahap daftar sidang.
Karena aku orangnya perfeksionis banget, di bimbingan terakhir itu masih aku ragu. Aku daftar sidang aja masih dengan perasaan nggak yakin sama skripsiku. Tapi satu hal yang bikin aku yakin adalah aku udah muak sama drama skripsi ini.
Aku pikir worst case kalau aku nggak juga daftar sidang itu aku makin merasa bersalah sama diriku sendiri, kalau aku nggak buru-buru nyelesain ini kayaknya aku bakal jadi gila.
Aku ingat salah satu tips mengatasi ketakutan berlebih dari buku "How to Respect Myself". Di sana dibilang ketika kita mengalami cemas berlebih salah satu cara mengatasinya adalah dengan menanyakan pada diri sendiri apa yang sebenarnya ditakuti.
Orang cemas itu kan bawaannya overthinking yak, kadang tuh orang kalau makin dibilang "udah gausah dipikirin" malah makin dipikirin. Jadi caraku buat ngelawan itu adalah mikir worstest case dari worst case dari hal yang bikin aku cemas. Karena semakin dipikirin, hal yang bikin cemas itu nggak seberapa kok. Misal pun emang bakal terjadi, ya emang kenapa?
Oh, tapi nggak selesai di situ, setelah dapet jadwal aku masih denial kalau aku bakal beneran maju sidang skripsi bentar lagi. Dan di H-2 sidang aku malah pergi konseling.
Aku pikir saat itu aku bakal gila kalau aku nggak ngeluarin uneg-uneg-ku.
Aku nggak bisa fokus sama sekali, terus bawaannya hyperactive seharian, dan itu berlangsung berhari-hari. Aku nggak bisa belajar sama sekali karena aku merasa otakku kusut banget mikirin sidang besok bakal gimana.
Akhirnya aku mutusin buat konseling dengan tujuan ngembaliin fokusku biar nggak terlalu cemas ngehadapin sidang nanti.
Tapi setelah konseling, aku nggak merasa puas sama jawaban psikologku. Karena menurutku jawabannya itu teknis banget (padahal sebelumnya aku pikir itu yang aku mau). Dia bilang aku harus mempersiapkan sidang sematang mungkin kayak nyiapin pertanyaan-pertanyaan yang bakal muncul, terus latihan presentasi di cermin dan lain-lain.
Ya kalo gitu doang mah gue juga tau.
Dan setelahnya, aku baru sadar ternyata dari satu jam konseling itu aku cuma butuh di-pukpuk aja.
Yang aku butuhin saat itu cuma emotional support kalau diriku ini bisa melewati sidang besok.
Aku bayar 150 ribu cuma buat disemangatin, guys (╥﹏╥)
Setelah konseling itu aku persiapan buat sidang yang bener-bener persiapan gitu. Aku belajar intens buat sidang itu cuma satu hari doang, karena hari-hari sebelumnya aku malah sibuk denial dan overthinking nggak jelas.
Alhamdulillahnya, saat sidang aku bisa melewatinya dengan lancar.
Oh, satu hal yang bikin aku takjub adalah diriku yang tidak mengeluarkan air mata setitik pun setelah kelar sidang. Aku nggak emosional sama sekali saat itu (padahal aku udah mempersiapkan kalau-kalau hal itu terjadi).
Aku malah kayak... loh? udah nih? kek...? loh? udahan nih? oh, gitu doang.
Padahal beberapa hari sebelumnya aku udah mikirin hal-hal terburuk yang bakal terjadi hari itu. Aku bahkan sampai konseling karena hal-hal buruk itu terus muter di kepalaku. Tapi ternyata nggak ada yang kejadian.
Kalo kata orang, "People suffer more in their imagination than in reality".
Anxiety itu bikin masalah yang sebenarnya biasa aja jadi gede banget di pikiran kita. Kek lebay banget gitu. Padahal setelah dijalanin, realitanya nggak seburuk yang dibayangin.
Puas banget rasanya berhasil melewati sidang dengan skripsiku yang masih aku ragukan bahkan sampai hari H sidang. Apalagi masih dengan judul yang sama yang aku ajuin hampir 2 tahun lalu. Kek udah nggak terhitung berapa kali aku pengen ganti judul, ganti dosbing sampai ganti topik, but at the end, I made it.
Selama beberapa tahun terakhir, aku merasa terkungkung dalam bubble anxiety yang aku punya. Berhasil melewati sidang dan menyelesaikan skripsi bagiku nggak hanya sekadar achievement akademik tapi jadi titik pencapaian besar yang bikin aku yakin kalau aku dan mimpiku jauh lebih besar dari masalah yang aku punya.
Aku masih ingat kata-kata psikologku sewaktu konseling sebelum sidang itu, dia bilang ketakutanku itu cuma ada di kepalaku dan aku yang nyiptain itu. Itu semua nggak nyata. Dan hal itu tercipta bukan karena trauma yang diberikan oleh orang lain, tapi emang aku yang terlalu jahat sama diriku sendiri aja. Aku terlalu menghakimi diriku karena masa depan yang aku jalani nggak sesuai dengan apa yang aku harapkan sebelumnya. I felt like I failed myself.
And... here we go again.
Aku kembali dapet PR yang sama kayak konselingku yang pertama tiga tahun lalu, aku harus lebih berusaha buat mengapresiasi diriku sendiri, ngasih afirmasi positif ke diri sendiri setiap hari sekecil apapun itu.
"We're not enough, and that's okay."
Seperti motto hidup yang aku tuliskan di skripsiku. Pelajaran berharga yang aku pelajari di tahun ini adalah tentang gimana kita memeluk kekurangan, kesalahan dan hal-hal negatif yang melekat di diri kita sendiri sebagai bagian dari diri kita juga.
Stop denial dengan bilang, we're enough. Actually, we're not.
We don't need to be perfect or close to the state of being perfect to be happy and feel loved.
Value kita sebagai manusia nggak berkurang hanya karena kesalahan kecil yang pernah kita lakukan di masa lalu.
After all, we're just human. We're not perfect. And that's okay.
***
P.s buat diriku di tahun 2023 ini, terimakasih udah bertahan sampai hari ini. Mari berjuang sekali lagi untuk tahun depan (。•̀ᴗ-)✧