Homesick
Meskipun judulnya homesick, tapi aku nulis ini saat nggak merasakan homesick.
Aku cuma pengen berbagi tentang "homesickness" yang pernah aku rasain, yang sebenarnya kalau dipikir lebih jauh, nggak sebatas "kangen rumah" atau "pengen pulang" aja.
Aku pertama kali jauh dari rumah benar-benar saat kuliah.
Sebelumnya, aku jadi anak cewek yang cukup sering dilarang-larang orangtua. Jadi ya gitu... agak kaget pas kuliah langsung jauh.
Sebenarnya merantau buat kuliah itu separuh direncanakan separuh nggak. Dan setelah dijalani pun ternyata ada enak dan nggak enaknya. Nggak enaknya itu, salah satunya ngerasain homesick.
Aku pertama kali ngerasain homesick kayaknya belum ada sebulan setelah ngekos, baru sekitar 2-3 minggu. Setelah kesibukan jadi maba mulai mereda, baru deh berasa homesick-nya.
Jaman maba dulu, ibuku belum punya smartphone jadi cuma bisa ngehubungin lewat SMS dan telepon. Dan kebetulan waktu serangan homesick pertama kali itu malem-malem lewat jam 9, udah lewat jam tidur orang rumah.
Nggak tau kenapa tiba-tiba aku pengen pulang waktu itu. Hanya saja, karena ada kesalahan teknis pas beli tiket, aku panik. Padahal mah belum dibayar juga. Cuma ya panik aja???
Setelah nyoba ngehubungin ibuku nggak diangkat, aku menghubungi pakdeku yang kebetulan rumahnya lebih dekat dari kos. Bukan buat minta jemput minta pulang... aku hanya panik aja gara-gara tiket kecancel dan ibuku nggak bisa dihubungin. Takutnya ada apa-apa sama orang rumah.
Besoknya ibuku ngehubungin aku balik dan kebetulan nggak langsung aku jawab karena aku tinggal ngerjain tugas. Setelah dijawab aku malah dimarahin, katanya bikin panik. Ya akunya juga panik, bu???
Kalau diinget-inget lucu juga sih.
Habisnya gimana ya, di kota perantauan ini aku bener-bener sendiri tanpa temen dan tanpa keluarga. Rumah pakdeku yang dibilang lebih deket itu juga hanya setengah kali lebih dekat dibanding ke rumah. Jatuhnya tetap aja jauh.
Dan ya... semester awal itu struggle banget sih, stres, mau nangis aja bawaannya.
The saddest part menurutku waktu itu adalah ketika aku ngeliat temen-temenku yang bisa pulang tiap minggu karena rumahnya deket, sementara aku harus nunggu libur semester dulu kalau nggak ya libur tanggal merah berturut-turut seenggaknya seminggu. Libur 4 hari aja aku nggak berani minta pulang karena cost buat pulang-pergi ke rumah bisa buat makan seminggu. Jadi sayang aja.
Saat itu aku kayak sedikit menyesali keputusanku buat kuliah jauh.
Padahal keinginanku dikabulkan buat kuliah jauh juga nggak mudah. Segala harus nangis-nangis dulu. Tapi setelah dijalanin kok gini... Ya agak nyesel sih, dikit.
Seiring bertambahnya semester. Aku jadi terbiasa sama homesickness yang aku rasain. Meski masih agak unbearable, tapi nggak seheboh dulu. Malah kadang aku nggak berani ngehubungin orang rumah sama sekali dan nangis sendiri di kosan.
Tapi karena itu, aku sadar, nggak setiap kali aku homesick aku harus menuruti keinginanku dan pesen tiket pulang.
Kayak— yaudah sih.
Selain itu aku berusaha menyibukkan diri sama kegiatan kampus dengan ngambil tanggungjawab organisasi segala macem. Ya sok sibuk ajalah. Biar nggak kangen-kangen amat sama rumah.
Lagipula aku nggak bisa nggak tersinggung kalau pas pulang ditanya, "Kapan betahnya di perantauan? Masa dikit-dikit pulang".
Ya orang nggak betah gimana. Setahun itu bisa dihitung jari aku pulang kampung. Gitu aja udah dibilang dikit-dikit pulang. Cih.
Dan berita buruknya adalah setelah aku terlanjur betah di sini, pandemi datang. Dan kehidupanku berubah 180° gara-gara itu.
Homesickness yang aku alami juga ikutan "upgrade" karenanya.
Aku pikir homesick pas maba itu udah paling nggak enak, tapi feeling "lost" pas pandemi itu jauh lebih nggak enak.
Setahun lebih kayaknya, sejak semester 4 akhir sampai semester 7 apa ya, aku benar-benar di rumah doang.
Awalnya asik-asik aja karena emang kuliah online kan santuy yak bisa ditinggal bikin mie, ditinggal tidur. Tapi yang bikin semua itu buruk adalah ketika masuk waktu KKN dan PKL.
Aku merasa lost contact dengan teman-temanku, rasanya kayak everyone left me behind.
I had no one to talk. Aku juga nggak tau apa yang sebenarnya aku rasain waktu itu.
Kalau dideskripsikan rasanya beneran kayak "lost". I felt lost.
For the first time I went to the professional. Aku nangis sejadi-jadinya pas curhat ke konselor. Tapi sampai sekarang aku masih nggak begitu mengerti apa yang aku rasain waktu itu.
Kalau aku coba deskripsikan sekarang, feeling yang paling dekat adalah "homesick". Tapi gimana bisa aku ngerasa "homesick" padahal saat itu aku di rumah.
It's like I was longing for something. Something-nya apa, aku nggak tau.
Kalau homesick kan jelas, rasanya pengen pulang, karena udah nggak nyaman lagi di kos dan kangen rumah.
Tapi perasaanku waktu itu, aku merasa aku nggak nyaman di manapun aku berada. Rasanya kayak pengen pulang, tapi pulangnya kemana aku nggak tau. Perasaan itu nggak berubah either aku ada di rumah atau jauh dari rumah.
Makanya sejak saat itu aku sering off WhatsApp berhari-hari karena I felt lost. Aku nggak sengaja pengen dicari. Emang beneran pengen menghilangkan diri aja.
Sebenarnya sampai sekarang aku masih sering ngerasain perasaan itu. Cuma intensitasnya nggak kayak awal-awal. Apakah masih unbearable? Of course.
Kalau udah kayak gitu tuh aku nggak tau mesti ngapain. Dengan nangis aja itu nggak cukup. Aku ngelakuin apa aja rasanya kayak serba salah. Kayak ada yang hilang dariku tapi aku nggak tau itu apa.
Somehow aku pikir itu anxiety attack apa ya. Soalnya setahun lalu aku baru beraniin diri buat ke psikolog dan dapat diagnosa dini kena anxiety.
Ya... Sebenarnya aku disarankan buat ngejalanin beberapa kali konseling lagi buat dapat diagnosa pastinya, tapi sampai sekarang belum aku lakuin karena nggak ada duit hahaha /jk.
Nggak sih, selama aku belum ngerasa benar-benar gila, kayaknya nanti lagi.
Anyway back to the topic. Homesickness upgraded version membuatku menyadari banyak hal baru.
Salah satunya adalah pemahamanku tentang arti "rumah" yang jadi lebih luas.
Dari kecil sampai 6 tahun lalu aku memahami "rumah" sebagai bangunan yang dihuni oleh aku dan keluargaku.
5 tahun lalu aku memahami "rumah" sebagai keluarga inti yang aku punya dan tempat aku pulang.
Tapi sejak tahun lalu, aku memahami "rumah" sebagai sesuatu yang membuatku merasa lengkap. Tempat ternyaman yang membuatku nggak perlu khawatir apa yang akan terjadi besok. Sesuatu itu nggak secara spesifik keluarga ataupun bangunan itu sendiri.
We can feel complete walaupun nggak di rumah, walaupun nggak dekat dengan keluarga.
Sesuatu itu yang masih aku cari.
Tapi dalam upaya pencarian itu aku lebih sering menganggap aku merasa kesepian dan merasionalisasi tindakanku untuk pulang ke rumah, karena selama ini aku merasa di sana tempat paling aman bagiku. Padahal aku masih punya urusan yang belum selesai di kampus.
I just... I can't help it.
Aku tau aku salah. Dan aku merasionalisasi hal itu terus menerus. Tapi beneran deh, rasanya nggak sesimpel mahasiswa baru yang kangen rumah. Saat sampai di rumah pun aku nggak langsung merasakan perasaan "nyaman" yang sama, kayak pas homesick yang terobati dulu.
Tapi di kos sendiri juga aku nggak bisa. Udah aku coba atasi dengan main bareng temen. Dengan ngelakuin hobi yang aku suka. Tapi nggak berubah.
"Pulang" menjadi kata yang rumit buat dipahami bagiku.
Mungkin aku baru benar-benar mengerti "pulang" kalau udah meninggal kali ya.
Oh satu lagi. Aku juga jadi sadar kebiasaan burukku berantem sama orang rumah, terutama ibu, jadi berkurang.
Aku bukan anak yang suka cari masalah sebenarnya, cuma agak lebih sensitif aja. I don't really know how to express myself. Sometimes perasaan negatif itu kayak meluap gitu aja dan membuatku terlihat kayak orang jahat. Aku juga nggak mau kayak gitu.
Aku sendiri ngerasa capek. Makanya ketika aku sadar intensitas aku berantem sama orang rumah jadi berkurang setelah ngekos dan nggak bikin aku jadi orang jahat lagi, aku sedikit lega.
Nggak sampai di situ, aku bahkan merasa mulai bisa mengekspresikan perasaan "kangen" itu sendiri.
Aku nggak bisa bilang kalau aku orang yang clingy. Sejujurnya aku bahkan nggak tau harus bereaksi kayak apa ketika ada orang tiba-tiba bilang "kangen".
When I'm longing for someone, biasanya orangtua atau adekku, aku langsung telepon dan bilang "pengen pulang~".
Itu udah jadi hal paling sweet yang pernah aku bilang. Karena sebelumnya aku emang nggak pernah ngomongin apapun tentang apa yang aku rasain. Di rumah juga emang jarang ngobrol. Dan orang rumah itu tau ketika aku duduk lebih lama bareng mereka di ruang tengah sambil nonton TV itu ya either ada yang pengen aku omongin atau emang lagi pengen clingy aja.
Showing affection lewat kata-kata itu nggak mudah. Apalagi buat orang yang tumbuh di keluarga act of service yang apa-apa ditunjukin lewat tindakan dan jarang ngomongin perasaan satu sama lain, jadi ya kayak aneh banget gitu rasanya.
Tentang rumah, aku setuju sama pendapat orang yang bilang, kita nggak seharusnya menjadikan orang lain sebagai "rumah".
Karena "rumah" adalah sesuatu yang seharusnya settle, nggak berubah dan nggak berpindah. Manusia itu selalu berubah dan bakal pergi (berpindah).
Di manapun bakal terasa kayak "rumah", if we can feel at ease with ourselves.
I don't know if it's possible, tapi nggak mudah buat menjadikan diri sendiri sebagai rumah.
Because we're too fragile.
And we're not complete.