Why Fall in Love, When You Can't Even Fall Asleep
"How you love yourself is how you teach others to love you". -Rupi Kaur.
***
Seperti yang udah aku bilang di blog berjudul "First Love; The Last Chapter", setelah cinta pertamaku berakhir, nggak ada orang lain. Genre romance seakan menghilang dari kehidupanku sejak saat itu.
Sebenarnya aku nggak pernah sengaja "menutup hati", cuma kebetulan aja aku nggak tertarik sama semua cowok— atau semua orang. Mereka di mataku itu sama aja.
Aku nggak paham gimana temen-temenku menganggap beberapa cowok menarik di mata mereka. Karena menurutku mereka terlihat biasa aja, kayak cowok pada umumnya.
Aku juga nggak begitu tertarik terlibat dalam obrolan cinta-cintaan sebenarnya.
(Why it sounds so pick me)
Ya mau ngobrolin apaan, orang subjek yang dibicarain aja nggak ada. Aku juga nggak sesinting itu buat bawa-bawa pacar gepengku di obrolan manusia normal.
Jadi kalau aku ditanya tentang cinta-cintaan. Aku jujur bilang nggak punya siapa-siapa, bahkan gebetan aja nggak punya. Beberapa orang bahkan nggak percaya. Kayak— Why?
Am I too pretty to be single or what?
Karena temenku nggak begitu banyak, aku sadar cinta-cintaan jarang jadi topik bahasan setiap kita ngobrol, barangkali mereka emang paham kalau aku nggak tertarik. Kecuali kalau mereka yang mau sukarela curhat tanpa nanya aku balik ya aku respon dan aku dengerin.
Hanya saja, aku sering nggak sengaja berada di tempat orang-orang bergosip tentang hal itu, yang akhirnya bikin aku cuma jadi orang yang kebetulan ada di sana yang antara peduli nggak peduli sama topik yang dibicarakan. Hal itu terlepas apakah aku tau subjek yang mereka bicarakan atau nggak.
Kayak masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Nggak sempat aku pahami, apalagi masuk ke memori otakku yang mini ini.
Jadi siapapun yang merasa aku berada di tempat dan waktu yang salah karena mendengar cerita percintaan kalian, percayalah aku nggak ingat sama sekali apa yang kalian bicarakan waktu itu.
Lucunya, aku juga nggak begitu punya alasan yang pasti kenapa aku jomblo. Bukan karena prinsip nggak mau pacaran, bukan karena dilarang orangtua juga. Kayak ya nggak tau aja gitu.
Keasikan jomblo, eh keterusan.
Aku bahkan sempat mempertanyakan aku masih suka cowok atau nggak. Dan aku yakin aku masih suka cowok.
Cuma emang belum ada aja orangnya.
Tapi ya, kalau dipikir-pikir aku juga nggak bisa membayangkan diriku sendiri menjalin hubungan romantis sama orang.
Kayak— aku?? Pacaran??? Sama orang????? Orang?? Kek—ORANG??????
I can not even imagine myself to be in love with a real person in the first place.
Tapi di saat yang sama, temen-temen seusiaku udah pada menikah dan bahkan punya anak. Apakah aku pengen juga? Sejujurnya nggak sih. Apakah iri? Nggak terlalu. Tapi aku ikut berbahagia kok kalau ada kabar temen nikah atau bahkan yang repot-repot ngirim undangan.
Sebenarnya, selain adekku yang suka berisik nyuruh aku nyari pacar biar nggak ngerecokin dia mulu, keluarga nggak ada yang nanya tentang hal itu. Bahkan ibuku aja hampir nggak pernah ngomongin itu.
Biasanya yang suka nyinggung hal itu cuma tetangga, atau temen ibuku, atau ibu dari temenku (yang aku bahkan udah lupa anaknya yang mana) yang emang jarang ketemu. Kayak obrolan basa-basi gitulah.
Idk it's kinda privilege I guess?
Denger cerita temen atau orang-orang di internet ditanya-tanya pacarnya mana atau bahkan disuruh buat nikah karena faktor umur padahal baru 20an, kalau aku di posisi itu aku nggak kebayang sih. Kayaknya aku bakal kabur ke luar negeri dan jadi peternak domba atau semacamnya.
Aku sebenarnya lebih tertarik kalo disuruh menganalisis tentang percintaan itu sendiri. Dimulai dari gimana orang-orang itu bisa yakin kalau mereka "cinta" sama orang. Kayak awalnya itu gimana. Bedanya dengan perasaan naksir doang itu apa.
Terus gimana sama orang-orang yang in relationship tapi mereka nggak benar-benar "cinta" sama pasangannya. Kayak sekedar merasa nyaman aja. Apalagi hubungan itu udah seserius kayak hubungan pernikahan.
Sebenarnya apakah dalam pernikahan itu nggak harus ada "cinta"?
I have too many questions in my head.
Aku lebih ngeliat romantic relationship kayak sesuatu yang menarik buat diamati. Kalau ada temen curhat juga aku berusaha ngeliat masalah mereka secara objektif. Makanya nggak heran ada temenku yang kapok curhat karena katanya aku terlalu kaku. Dia bilang salah orang kalau curhat cinta-cintaan ke aku.
Ya meskipun aku mencoba mengurangi kebiasaan itu, tapi aku suka nggak tahan aja gitu sama orang yang terlalu bucin.
"Ya tapi aku masih sayang sama dia."
"Aku maunya cuma dia."
"Kalau nggak sama dia aku nggak bisa."
Padahal tanpa makanan pun manusia masih bisa bertahan hidup sampai 2 bulan. Emang pacarmu itu apa? Oksigen?
Tapi ya.... aku tau kalau merelakan itu nggak mudah. Kadang kalau udah capek nasehatin, aku cuma bilang "ya itu sih pendapatku aja sebagai outsider. Akhirnya kan kamu yang ngejalanin. Kalau dirasa masih kuat ya kejar aja terus, nanti kalau capek tinggal berhenti. Lagian kalau kamu ngerasa sakit kan kamu yang ngerasain, bukan aku."
Dan aku nggak lagi ambil pusing sama masalah mereka. Soalnya capek juga ngebilangin orang bucin. Otaknya suka ketutup kabut. Burem. Biarin mereka ngejar apa yang mereka mau.
Pada akhirnya aku sadar kalau yang ngebentuk seseorang itu dari lingkungan dan gimana cara mereka tumbuh. Bisa jadi juga karena pengaruh dari trauma yang pernah mereka alami. Jadi aku nggak bisa serta merta juga bisa ngejudge cara mereka mengambil keputusan termasuk yang berhubungan dengan percintaan mereka.
Aku belajar untuk selalu memprioritaskan diriku juga nggak lama ini karena stres pas pandemi. I used to be "people pleaser" back then. Dan aku belajar, at the end of the day semua orang bakal pergi, yang aku punya hanya diriku (dan Tuhan).
Meskipun nggak memungkiri ada sih kepengen diperhatiin, ditemenin, disayang-sayang. Tapi nggak dulu. Rasanya, punya partner hidup kek pacar atau apapun sebutannya itu, kurang worthy aja terlebih saat ini.
Yang perlu dikorbankan nggak sebanding sama benefit yang didapat. Udah mah masalah hidup nambah, harus ngorbanin waktu, pikiran dan tenaga buat orang lain.
Buat merhatiin diri sendiri aja susah, sok-sokan mau merhatiin orang.
Buat tidur aja susah apalagi buat jatuh cinta.
Kalau mau disayang-sayang dan diperhatiin doang mah masih ada keluarga, punya hobi juga. Kayak— aku masih sanggup buat menghujani diriku sendiri dengan afeksi gitu.
Meskipun kadang agak ngenes juga sih, soalnya keliatan banget hopeless romantic-nya.
Anyway, secara tradisional hubungan romantis itukan ujungnya ke pernikahan ya. Ada sih, atau mungkin banyak, orang yang enggan pacaran dan memilih buat langsung nikah aja. Meskipun aku kagum sama prinsip mereka, tapi aku juga nggak mau kayak gitu.
Kayak— apa ya. Serem aja gitu ngebayangin ngabisin hidup sama orang yang nggak begitu kita tau. Apalagi orangtuaku adalah produk dari nikah tanpa pacaran, alias dijodohin. Hasilnya? Berantem mulu.
Orang yang pacaran bertahun-tahun aja masih suka dapet "surprise" dari pasangannya, apalagi yang nggak melewati tahap itu dulu.
Tapi ya balik lagi ke orangnya sih. Kayak mau gimana juga manusia itu selalu berubah, entah ke arah yang baik atau buruk. Nggak ada bedanya juga kalau pas pacaran sengaja dikasih liat yang baik-baik doang, terus baru ketahuan pas menikah, sama mereka yang karena satu dan lain hal berubah jadi orang yang berbeda pas menikah.
Mungkin ini semua hanya ketakutanku aja. Kalau misal banyak cerita jelek tentang kehidupan pernikahan di luar sana, pasti ada lebih banyak juga cerita bahagianya.
Sebenarnya, aku masih percaya kok kalau cinta itu ada. Suami-istri yang masih saling cinta setelah puluhan tahun pernikahan mereka itu pasti banyak.
Aku hanya nggak bisa berhenti mikirin worst scenario kalau misal pasanganku out of love karena perasaannya udah "expired". Mungkin fiksi yang kubaca yang memperburuk hal ini, tapi aku nggak kebayang gimana sedihnya aku kalau nanti orang yang pernah aku sayang banget berubah dan kembali menjadi "orang lain" bagiku.
Mengingat gimana aku mengabadikan cerita pirst lopeku yang sebenarnya miris banget itu, kayaknya aku bakal lebih parah di cerita selanjutnya. Aku beneran bisa nulis novel trilogi dari cerita dia doang.
Terlepas dari semua itu, aku percaya "Love yourself first, before others".
Dari buku "How to Respect Yourself" yang ditulis Yoon Honggyun, aku belajar ketika seseorang punya punya self-esteem yang tinggi dan mampu mencintai dirinya dengan cukup, meskipun pada beberapa aspek kehidupan, termasuk percintaan, dia kurang beruntung, dia nggak akan mudah "hancur".
Jadi penting banget, setidaknya menurutku, sebelum memulai hubungan, atau sebelum mencintai orang lain, terlebih dulu mampu mencintai diri sendiri. Dan aku mau, kelak pasanganku juga mampu mencintai dirinya sendiri dengan cukup.
"Your partner's insecurities are not yours."
Berhenti projecting insecurity yang kalian punya ke pasangan. Setiap orang punya insecurity-nya masing-masing, tapi kalau udah nggak bisa dihandle dan malah bikin susah orang lain, I suggest buat pergi ke professional.
Ganti pasangan tapi masalah yang dihadapi masih berkutat di masalah interpersonal kalian, itu sama aja kayak orang yang bolak-balik ganti baju tapi nggak mandi.
I do have insecurity. Tapi aku aware, aku nggak mau bikin pasanganku susah karena insecurities yang aku punya agak complicated.
Jadi aku mau fokus ke diriku sendiri dulu buat membenahi itu, setidaknya untuk sekarang sampai setahun ke depan.
Tapi aku juga nggak tau apa yang bakal terjadi ke depannya.
Siapa tau jodohku tiba-tiba muncul? Atau barangkali aku mati duluan sebelum nemu jodoh? Aku nggak tau juga.
***
P.s: Ini salah satu blog terpanjang yang aku tulis, tapi sayangnya paling berantakan haha. Masih banyak yang pengen aku bicarakan tentang cinta-cintaan dan relationship sebenarnya, tapi kayaknya bakal aku bagi ke beberapa judul aja.
Dan aku berharap banget buat bisa merevisi tulisan-tulisan ini nanti, dengan mindset yang lebih lebih realistis setelah punya pasangan beneran.