First Love; The Last Chapter
About first love.
Cielah.
Selama 22 tahun hidup, aku naksir orang beneran cuma sekali. Pertama dan terakhir kali.
Pernah denger quote yang bilang kalau cinta pertama itu nggak pernah berhasil? Untuk kisahku, ya it didn't work.
Jadi spoiler dulu, aku dan dia nggak pernah jadian dan cerita ini nggak happy ending.
I met him when I was in middle school. He's my classmate when I was in grade 8 to be exact.
Berawal dari kebodohanku yang bangun kesiangan di awal semester kelas 8. Gara-gara itu aku dapat tempat duduk paling belakang. Sendirian.
Samping mejaku ini diisi sama anak-anak cowok. Dan dia adalah salah satu dari mereka. Kebetulan, tablemate-nya itu temenku waktu kelas 7. Jadi aku dan tablemate-nya ini emang sering ngobrol. Dan sepertinya perasaanku bermula dari sana.
Agak lawak emang, yang diajak ngobrol siapa, naksirnya ke siapa.
Nggak ada alasan khusus sebenarnya, kenapa aku sukanya sama dia. Kalau dipikir-pikir juga aku bingung kenapa. Dia nggak ganteng, nggak pinter juga, muka dan perawakannya kayak anak SMP kabupaten kebanyakan.
All I remember about him, it's just his sweet smile. His laugh. And his silly acts. Sisanya nggak ada yang spesial.
Kita jadi sering ngobrol gara-gara dia sering minjem alat tulis dan minta contekan ke aku. Dan aku rela-rela aja ngasih, meskipun akhirnya dia bagi sama temen-temennya. Pun kalau dia jahat mau manfaatin aku buat jadi sumber contekan, aku nggak keberatan.
Bulol sejak dini.
Kayaknya satu semester atau lebih, tapi nggak sampai setahun, aku mengagumi dia diam-diam. Setelah itu, karena satu dan beberapa hal yang nggak bisa kuceritakan, kayaknya dia mulai sadar akan perasaanku.
Sejak saat itu dia menjauh. Dia beneran jadi sedingin itu. Nggak cuma berhenti ngobrol, dia juga dengan sengaja menjauh dariku. Se-obvious itu dia nunjukin dia nggak mau berhubungan denganku.
Waktu pun berlalu dan kita naik kelas, aku dan dia pisah kelas saat kelas 9. Tapi kebetulan kelas kita masih sebelahan.
Dan plot twist-nya adalah, di kelas 9 itu, dia jadian dengan teman sekelasku.
Udah gitu mereka jadi kayak school lovebirds yang punya pet names ayah-bunda dan terkenal seantero angkatan, terus di-ship-in anak-anak satu sekolah. Nyebelin banget.
Yang lebih nyebelinnya lagi, karena SMP-ku itu kental banget agamanya. Jadi meskipun nggak bakal dihukum kayak di pesantren, tetep aja orang-orang harusnya tau kalo pacaran itu dosa.
Tapi doi sama pacarnya malah sok jadi couple of the year waktu itu. Meski yang pacaran di sekolahku juga sebenarnya bukan dia dan pacarnya doang sih. Tapi tetep aja itu nyebelin BANGET.
Apalagi cover dia dan pacarnya itu keliatannya kek anak alim. Bisa dibilang awal aku naksir dia juga karena dia keliatan "alim". Tapi bukan alim yang kayak benar-benar se-nggakmau itu deket sama cewek. Seenggaknya kupikir dia nggak bakal tertarik buat pacaran.
Sejak kelas 9 dia punya pacar itu, aku ngerasa dia berubah drastis.
Sebenarnya banyak cerita sedih yang terjadi di rentang waktu itu yang nggak mau kuceritakan. Yang intinya selama setahun itu hingga kelulusan, jadi the darkest year selama aku sekolah. Tahun patah hati nasional.
Lebay sih kalau diingat-ingat. Tapi ya gimana, namanya ABG pertama kali patah hati.
Meskipun aku sebel banget sama pacarnya waktu itu, nggak pernah ada konflik di antara kita. Jadi jangan berharap ada kejadian seru kayak berantem heboh yang harus dipisahin temen-temen atau sejenisnya. Bahkan bisa dibilang aku dan pacarnya itu bener-bener keliatan kayak temen baik aja.
Gara-gara itu, aku nggak yakin bahwa aku benar-benar ada di antara dia dan pacarnya. Mungkin saat itu hanya aku yang merasa begitu. Berasa NPC kali aku ni di mata mereka, padahal kan aku pengennya jadi antagonis.
Aku sadar, harusnya sejak itu aku berhenti naksir dia. Tapi begonya aku malah masih suka. Dan perasaan itu tetap sama hingga hampir 3 tahun sejak lulus, bahkan saat kita nggak pernah ketemu lagi. Bahkan saat dia putus dengan pacarnya waktu itu dan jadian dengan yang lain.
Jadi, kalau ditotal aku suka dia selama 5 tahun lamanya.
Dari 5 tahun aku naksir sendiri itu, aku berubah banyak. Aku pernah nge-push myself hard buat jadi lebih baik dari pacarnya dari berbagai aspek. Meskipun nggak pernah terang-terangan, tapi aku pengen dia ngeliat aku dengan aku berusaha memperbaiki diri. Tapi nggak peduli gimanapun aku berusaha, dia nggak pernah "melihatku".
Selama 5 tahun itu juga, banyak short stories dan puisi yang aku buat tentang dia. Iya, aku tipe orang kayak gitu, yang bisa jadi artistik banget pas naksir orang. Mungkin itu salah satu usahaku "mengabadikan" cerita aku dan dia yang nggak pernah menjadi "kita".
Stres banget emang manusia hopeless romantic ini.
Setelah itu, aku pikir aku nggak pernah benar-benar melalui proses "move on". Dan sampai perasaanku ke dia menguap habis, sebenarnya aku belum pernah confess. Soalnya aku tau dia nggak suka aku dan nggak akan pernah suka juga.
Aku bahkan ragu dia beneran nganggep aku pernah ada atau nggak di hidupnya.
Pun saat aku udah SMK dan berada di sekolah yang berbeda, aku masih merasa kalau aku masih suka dia. Berada di lingkungan baru dengan teman-teman baru nggak otomatis bikin aku "move on". Aku juga nggak begitu tertarik dengan cowok-cowok di sana. Nggak ada yang aku sukai dan menyukaiku.
Barangkali genre romance memang nggak ada di list genre hidupku saat SMK. Mungkin hal itu juga berlanjut sampai sekarang.
Ketika teman-temanku bisa berbagi cerita tentang 2-3 cowok yang berbeda, aku masih stuck dengan ceritanya. Untungnya saat itu aku di circle yang sama jomblonya, jadi nggak ada urgensi bagiku buat nyari orang baru. Karena hal itu lebih terasa mustahil daripada hanya sekadar nggak lagi menyukainya.
Kayak tata surya yang berpusat di matahari, selama beberapa tahun aku merasa bahwa duniaku berpusat hanya di dia.
Lucunya, gimana akhirnya aku memutuskan buat menutup perasaanku ke dia juga sebenarnya kayak "yaudahlah" gitu doang. Aku merasa kayak semua perasaanku berakhir gitu aja. Kayak di suatu hari yang biasa aja, aku keinget kalau aku udah nggak mikirin dia selama beberapa bulan, dan kapan terakhir kali aku mikirin dia juga aku nggak ingat.
Barangkali karena banyaknya masalah lain yang harus kupikirin, sejak saat itu jadi nggak sempat mikirin dia lagi.
Akhir-akhir ini, aku lebih kayak menganalisis apa yang sebenarnya terjadi pada perasaanku waktu itu, dibanding dengan mikirin dia sebagai subjeknya. Mungkin aja kalau sebenarnya perasaanku ke dia itu nggak sepenuhnya nyata. Kayak dari 5 tahun itu, aku pikir hanya sebagian waktu aku benar-benar suka dia, sisanya hanya aku yang kangen dengan perasaanku sendiri sewaktu aku suka dia.
Semua hanya tentang aku dan perasaanku. Dia nggak pernah benar-benar ada di sana.
Tapi... kalau perasaan itu nggak nyata, rasanya tetap sesak banget. Setelah semua hal yang terjadi, setelah kita bahkan nggak pernah ketemu lagi, rasanya masih sesak dan sedih kalau aku mengingat-ingat tentang dia.
Benar-benar ada masa di mana aku pikir mencintai seseorang itu rasanya menyakitkan. Kalau aku tau bakal sesakit itu, kayaknya aku memilih untuk nggak pernah suka dia dari awal.
Ya meskipun begitu, setelah dipikir berulangkali, kayaknya sekarang aku nggak menyesal pernah suka sama dia.
Kalau saat itu aku nggak suka dia, aku mungkin nggak pernah punya kesempatan buat ngerasain jatuh cinta. Karena setelah "cinta pertama" itu berakhir, aku nggak bertemu cinta kedua, ketiga, dan seterusnya.
Aku juga sebenarnya lebih bersyukur karena orang itu dia. Karena kalau saat itu aku sukanya orang lain, mungkin rekam jejak percintaanku jadi lebih rumit. Dan karena diriku yang polos nyerempet bego ini, bukan nggak mungkin buat dimanfaatin kalau aku suka dengan orang yang salah.
Lagipula, secara nggak langsung aku bisa tertarik ke sastra adalah karena kontribusinya yang bikin aku naksir sampai patah hati waktu itu. Genre angst especially about unrequited love yang sampai sekarang aku masih naksir aja sepertinya secara nggak langsung gara-gara dia juga.
Dan karena dia, aku juga pernah "hijrah" jadi cewek yang lebih alim selama beberapa tahun.
Waktu itu aku yakin tipe ceweknya itu emang ukhti-ukhti muslimah lemah lembut yang manutan sama suami dan punya panggilan umi-abi setelah berumahtangga gitu, jadi aku mau memantaskan diri.
Terakhir kali aku stalk Facebooknya juga, dia pasang bio dengan foto bersama pasangannya (bukan dengan pacarnya saat SMP) yang tipe kayak tadi itu. Sangat jauh berbanding terbalik dengan aku yang penuh dosa ini.
Mengingat dia yang religius kayak gitu, ditambah ceweknya juga kayak gitu, aku pikir kayaknya mereka nggak bakal pacaran lama. Jadi mungkin aja sekarang mereka udah nikah? Atau seenggaknya mereka udah di tahap serius, nggak kayak diriku ini yang masih suka ngehaluin gepeng.
Ya apapun yang terjadi, aku berharap yang terbaik buat dia sekarang. I hope that he's doing well in life, still be a good person and be happy always.
Kayaknya bakal sedikit kemungkinan dia menemukan tulisan ini. But I want him to know....
For a quite long time, there's a girl who used to like you. And she only had eyes on you. For years.
I was that girl. That's me.