Failure
"Some mistakes have to be made, they're creative errors". - Hilary Mantel.
***
Sekitar 2 tahun lalu aku nemu sebuah buku di Gramedia, yang sampai sekarang belum selesai aku baca.
Tapi buku ini punya poin menarik tentang kegagalan meskipun nggak dijelaskan secara gamblang.
Beauty of Trauma, by Jung Yeoul.
Dari judul bukunya, calon pembaca udah bisa tau kalau buku itu akan membahas tentang trauma. Jung Yeoul, penulisnya menceritakan gimana ia belajar psikologi untuk pulih dari traumanya dengan cara mengkonfrontasi luka dalam dirinya sendiri.
Aku nggak tau apakah orang lain juga merasakan ini, tapi sejak lembar pertama yang aku baca, aku merasa Jung Yeoul mengambil pendekatan yang cukup aktif tentang gimana luka itu harus dihadapi. Pembaca seakan ditodong oleh penulis dengan sebuah pisau, memaksa mereka mengingat luka di masa lalu lewat pengalaman yang diceritakan penulis.
Ditambah di setiap sub bab buku tersebut, dilengkapi dengan semacam essay berisi pertanyaan-pertanyaan singkat berkaitan dengan topik yang udah dibahas. Di pertanyaan ketiga, penulis bertanya pada para pembaca,
"Apakah kalian memiliki trauma? Dan bagaimana kalian menghadapi trauma itu?"
Sampai setengah jalan aku membaca, aku belum mengisi satupun jawaban atas pertanyaan yang diajukan penulis. Karena dari pertanyaan tadi nantinya akan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Jadi bakal susah banget buat menjawab pertanyaan-pertanyaan di sana, tanpa pembaca jujur pada diri mereka sendiri apa yang sebenarnya melukai mereka.
Dan sampailah di satu pembahasan, penulis menceritakan tentang gimana akhirnya dia memutuskan untuk menjadi freelance writer setelah bertarung dengan egonya demi mencapai mimpi yang selama ini dia inginkan.
Berawal dari perjalanan nekatnya ke Eropa sendirian, penulis menyadari betapa luasnya dunia ini dan betapa kecilnya "dunia" yang selama ini dia lihat. Setelah itu ia memutuskan untuk pindah dari rumah orangtuanya, hidup sendiri dan menjadi penulis.
Membaca part tersebut, yang pertama aku pikirkan adalah.... ini beneran nggak sih? Meskipun aku relate dengan keinginan penulis yang ingin lepas dari kungkungan dan obsesi orangtua dan hidup sendiri, tapi gimana ia dengan gilanya terbang ke Eropa sendirian dan melihat kehidupan di sana dia kayak seketika "wah ternyata seperti ini hidup yang aku inginkan!" dan tiba-tiba aja jadi penulis, rasanya kayak— ini beneran nggak sih? Ini plot film?
Tapi nyatanya itu yang penulis ceritakan.
Dan bagian menariknya adalah ketika penulis bercerita perjalanan nekatnya ke Eropa itulah yang menyadarkannya bahwa kehidupan yang ia jalani selama ini sangat menyesakkan. Selama hidupnya, penulis berusaha menjadi yang terbaik, si siswa teladan, si putri sulung yang baik hati, pintar dan dapat dibanggakan, yang sebelumnya ia pikir adalah karena tuntutan ibunya, ternyata tak lebih dari sebuah ilusi yang ia ciptakan sendiri.
Semua obsesinya menjadi "putri baik" adalah atas kehendaknya sendiri, padahal kalau penulis mau melakukan hal-hal menyenangkan kayak pergi pacaran, atau main dengan teman di luar sekolahnya ya nggak apa-apa juga. Ego yang tertanam dalam diri penulis lah si antagonis yang selama ini membuatnya membenci ibunya sendiri karena telah membuatnya menjadi manusia yang sekarang ini.
Dan demi memutuskan akar masalah itu, penulis memutuskan untuk pindah dan hidup sendiri kemudian memulai karir menulisnya. Tak disangka, jarak yang tercipta antara dirinya dan sang ibu yang akhirnya memperbaiki hubungan mereka. Ibunya pun dapat menyadari bahwa,
Sesuatu harus pergi jauh agar bisa terbang semakin tinggi.
Cerita Jung Yeoul itu membuatku akhirnya bertanya pada diriku sendiri. Jangan-jangan memang selama ini aku juga hanya "mengkambinghitamkan" orangtuaku. Setiap orangtua pastinya ingin anak mereka menjadi yang terbaik. Tapi gimana anak itu memutuskan buat do their best sampai mem-pressure diri mereka sendiri, mengkritik diri mereka sendiri sampai rasanya hampir gila adalah kehendak mereka sendiri.
Saking takutnya mengecewakan orangtuaku, aku berpikir kalau aku harus selalu punya "second option" dalam setiap keputusan yang aku pilih. Aku adalah tipe orang yang lebih memilih "pintu lain" ketika pintu yang aku inginkan atau yang aku tuju itu tertutup. Aku nggak bersedia untuk mencoba membuka pintu yang tertutup itu dengan mendobrak atau mencungkilnya, karena ya buat apa juga belum tentu pintu itu bakal terbuka.
Dan pintu yang tertutup itu adalah kegagalan. Kegagalan yang pasti ditemui setiap orang dalam kehidupan. Di mataku, pintu yang tertutup itu terlalu besar, terlalu menakutkan dan egoku nggak bisa menerima alasan kenapa pintu itu tertutup untukku. Dan akhirnya dengan mudah berpaling dan mencari pintu lain yang mau terbuka tanpa mencari tau kenapa pintu itu tertutup.
Dalam kehidupan manusia pasti ada aja saatnya kayak semuanya tuh buntu banget, di mana semua pintu tertutup. Hal itu menurutku mengerikan banget. Kayak— kenapa gitu lho?!! KENAPA?!
Tanpa pengalaman "membuka pintu yang tertutup", manusia sepertiku hanya duduk terdiam di pintu yang tertutup itu sambil menyalahkan diri kenapa pintu itu tertutup sekarang, dan terlebih, tertutup untukku.
Setelah semua yang terjadi, aku baru sadar kalau buat berdiri tegak di depan "pintu yang tertutup" adalah kemampuan yang nggak aku punya.
Kebetulan, sore tadi aku barusan nonton Blue Lock, anime sports tentang sepakbola gitu.
Karakter Jinpachi Ego, si manusia aneh berkacamata itu bilang kalau seseorang harus tetap berjuang meskipun dalam keputusasaan. Ia bilang begitu dalam konteks menanggapi Barou yang berhasil keluar dari keputusasaannya setelah gaya sepakbolanya tak memberikannya kemenangan.
Ego bilang kalau dia nggak butuh orang-orang yang mengejar mimpi mereka dengan membabi-buta. Mereka yang tidak mau mengakui kekalahannya dan merasionalisasi bahwa pertandingan baru saja dimulai, hanya agar mereka merasa lebih baik dan usaha yang telah mereka lakukan tak sia-sia.
Yang sebenarnya manusia-manusia gagal itu perlu lakukan adalah memiliki mentalitas yang kuat untuk mengakui ketidakberdayaan bukannya membohongi diri sendiri dan orang lain. Lalu dengan kegagalan itu mereka bisa menciptakan peluang baru yang mengantarkan mereka ke mimpi yang mereka ingin wujudkan.
Jadi intinya, kegagalan adalah penentu dari mimpi mereka sendiri.
Dan menariknya, gimana orang-orang itu bisa memiliki mentalitas baja ini adalah sesuatu yang nggak serta merta dihasilkan dalam semalam. Mungkin aja memang ada orang yang karena background keluarganya atau lingkungan tempat ia tinggal memang melatih mental mereka sedemikian kuat, tapi orang biasanya akan merasa sangat lemah ketika awal-awal menghadapi kegagalan yang keliatannya nggak ada habisnya ini.
Manusia yang jarang atau bahkan tidak pernah merasakan kegagalan itu ibaratnya pisau tumpul. Serangkaian kegagalan dan masalah hidup yang menjadikannya tajam.
Cielah.
Tapi kalau dipikir-pikir ya, manusia mana yang mau merasakan ketidakberdayaan, merasakan kegagalan berulangkali memporak-porandakan dirinya. Kayak— gagal sekali aja udah cukup berat. Nggak usah lah ada kegagalan kedua ketiga dan seterusnya.
Tapi emang kadang tuh kita perlu buat melihat kegagalan hidup dari jauh. Kayak lukisan abstrak yang perlu diamati dari jarak beberapa meter dulu baru ngerti maksudnya.
Aku melihat kegagalan lebih kayak "kelas tambahan" yang nggak rutin bisa didapatkan. Yang kadang adanya tuh soreeee banget, kadang pagiiii banget. Malesin aja pokoknya.
Tapi pelajaran yang didapat dari "kelas tambahan" itu kadangkala lebih penting dari "kelas rutin". Jadi ketika ada kesempatan buat belajar dari "kelas tambahan" ya dipergunakan sebaik-baiknya.
Kalau gitu kegagalan bisa dipandang sebagai privilege juga nggak sih? Kayak arc khusus yang diciptakan buat karakter utama biar mereka bisa "belajar lagi" gitu. Kalau dari awal karakter utama itu udah overpower mereka nggak butuh arc khusus yang bikin mereka jatuh dan belajar, karena buat apa juga, kan mereka udah kuat.
Biasanya orang yang terbiasa punya jalan hidup yang lurus-lurus aja itu punya ego yang tinggi. Kayak Barou Shoei dari anime Blue Lock yang menjuluki dirinya "King".
Bagi mereka, gagal itu nggak sesimpel kayak dapet nilai 60 di ujian matematika, terus harus ikut remedial buat memperbaiki nilai itu.
Kayak— hal itu jadi lebih complicated di kepala mereka, karena ngelibatin harga diri yang mereka punya.
Seperti waktu yang lebih banyak mereka habiskan buat belajar dibanding orang lain, kesempatan yang mereka lewatkan buat ikut kegiatan-kegiatan menyenangkan bareng temen. Pokoknya mengingat "harga lebih" yang mereka bayar atas sesuatu, yang mana hasilnya itu tetap "kurang".
Rasanya nggak adil banget.
Belum lagi memikirkan reaksi orang lain yang terbiasa ngeliat mereka berhasil.
"Kayaknya orang-orang itu bakal mengejekku, mereka pasti senang banget kalau aku gagal".
"Orangtuaku kayaknya bakal marah banget, mereka bakal kecewa, aku ini anak yang penuh kegagalan".
Mereka lebih takut buat menghadapi reaksi orang-orang di sekitar mereka, dibanding menghadapi kegagalan itu sendiri.
Because we're not used to it.
But that's how life works. Realita hidup nggak kayak quotes di media sosial.
Beberapa orang butuh waktu sedikit lebih banyak buat berdamai dengan kegagalan yang menghancurkan mereka. Tapi selama mereka tau cara buat bangkit lagi, kayaknya sebanyak apapun waktu itu ya nggak apa-apa.
Aku sebenarnya udah muak dan nggak peduli lagi dengan pandangan orang, tapi bagian tersulit berdamai dengan kegagalan adalah gimana caranya memaafkan diri sendiri.
Kayak— kalau aku dan diriku 5 tahun yang lalu dan bicara face to face, aku bener-bener cuma pengen minta maaf.
Maaf banget karena nggak bisa mewujudkan ekspektasi yang pernah kamu buat dulu. Dan aku harap kamu nggak terlalu kecewa atas semua yang terjadi.
Sebenarnya, nggak mudah buatku nulis ini. Tapi aku tetap berusaha selesaikan, karena buat reminder kalau aku pernah melewati ini.
Dan buat diriku di masa depan, yang mungkin bakal menemui kegagalan yang lebih besar dari sekarang. Aku pengen kamu tau, YOU'VE GOT MY BACK, GIRL. Aku yang berhasil melewati masa-masa sulit di masa lalu, di masa ini dan masa depan adalah orang yang sama.
You've survived a lot and you'll survive whatever is coming. Love you <3
***