Talk About Dream in My Early Twenties

"Bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh maka kau akan jatuh di antara bintang-bintang." - Ir. Soekarno

***

Kata-kata itu familiar bagi banyak orang, beberapa dari mereka mungkin malah menjadikannya motivasi dan motto hidup.

Tapi denger kata-kata itu lagi di umur dua puluhan ini, rasanya agak menyebalkan.

Good for them yang bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan berbekal semangat membara dan tekad yang kuat, kayak MC anime shounen super power. Tapi aku nggak bisa jadi bagian dari itu. Sama dengan banyak orang di luar sana, yang entah karena kendala ekonomi ataupun hal lain yang bikin mereka berpisah dengan mimpi-mimpi mereka.

Dan aku mau bicara tentang gimana berdamai dengan semua itu.

Beberapa anak atau kebanyakan anak punya list mimpi nggak masuk akal dari kecil seiring mereka bertambah dewasa.

Aku ingat teman sekelasku waktu SD ketika ditanya soal cita-cita, dia bilang dia pengen jadi teroris dan dia tertawa setelahnya. Ada anak lain yang bilang dia pengen jadi maling, biar temannya yang ingin jadi polisi ada kerjaan katanya.

Aku? Aku nggak pernah benar-benar berpikir tentang "cita-cita" sebenarnya. Kecuali suatu ketika aku diharuskan menuliskannya untuk tugas sekolah.

Aku pengen jadi guru.

Apakah itu serius? Tentu aja nggak.

Aku hanya nggak terpikirkan profesi lain yang masuk akal dan cocok denganku, saat itu. Soalnya aku lebih sering halu pengen jadi sesuatu yang keliatannya menyenangkan buat dikerjain.

Aku ingat pernah pengen jadi koki gara-gara suka bikin eksperimen di dapur, meskipun banyak dari hasil percobaannya yang nggak bisa dimakan— sampai sekarang.

Aku juga dari dulu suka gambar dan pernah cerita pengen jadi pelukis, designer baju, pernah pengen jadi ilustrator, pernah pengen jadi arsitek juga. Padahal aku nggak pintar-pintar banget gambar. Orangtuaku masih suka meledekku tentang itu. 

Karena aku suka nulis aku juga pernah pengen banget jadi penulis. Penulis apa aja deh, novel, puisi, naskah drama, fanfictiondoes it count?

Oh, bahkan pas SMK yang rata-rata orang keknya udah sembuh dari penyakit "halu", aku malah pengen jadi sutradara, kru TV, animator, sampai pengacara. Pernah kepikiran daftar jurusan hukum juga gara-gara itu. Penyebabnya gara-gara drakor. Cita-citaku waktu itu berubah tergantung drakor apa yang habis ditonton.

Untungnya waktu itu aku belum terlalu gila anime. Kayak masih nonton anime populer hasil rekomendasi dari temen-temen aja. Coba waktu itu udah jadi wibu, bisa-bisa list cita-citaku nambah pengen jadi istrinya Daisuke Kambe.

Selain itu kayaknya masih ada lagi cita-cita lainnya, tapi aku nggak ingat (karena saking banyaknya).

Dan terakhir kali aku punya cita-cita, yang akhirnya aku pikir masuk akal buat dikejar, itu 2-3 tahun lalu pas kuliah. Lebih tepatnya pas kuliah masih asik-asiknya. Yang mana itu berhubungan dengan jurusanku tercintah yang aku sayangi dan aku banggakan, akuntansi uwuw.

Sebenarnya udah biasa banget mimpiku nggak direstui orangtua. Diledek juga sering. Tapi mimpiku yang terakhir itu mereka kayaknya nggak sadar, atau mereka lupa, soalnya nggak pernah mereka ungkit. Dan itu pupus bukan karena mereka.

Pertama kali aku ngeliat mimpiku gagal bukan karena orangtua tapi karena diri sendiri. Rasanya sedih banget.

Nggak ada tuh rasanya jatuh di antara bintang-bintang. Jatuh ya jatuh aja. Sakit.

Agak bias kayaknya kalau aku cerita ketika udah sampai di titik ini, soalnya aku udah lebih berdamai (meski belum sepenuhnya) dan udah berusaha buat nggak peduli lagi tentang itu. Tapi saat itu beneran pernah ada di hidupku.

I felt so fucking depressed. 

Meskipun ini nggak kayak aku ikut mati bersama mimpiku. Tapi nginget-nginget lagi gimana aku pernah se-excited itu nyeritain mimpiku ke orangtua, ke temen-temen terdekatku. Rasanya udah cukup bikin kecewa, sakit hati, dan marah sama diri sendiri yang nggak bisa ngelakuin apa-apa.

Kalau dipikir-pikir lagi rasanya kayak aku terlalu di-pressure buat selalu ngelakuin yang terbaik, tapi nggak ada yang ngasih panduan, gimana langkah selanjutnya kalau "terbaik" yang aku lakuin itu ternyata belum cukup. Nggak cuma tentang gimana caranya bangkit aja, tapi gimana caranya merawat luka yang didapat pas jatuh itu biar nggak sakit lagi buat dibawa jalan.

Dan aku nggak punya cukup keberanian buat cerita ke siapapun tentang itu. Rasanya malu banget. Kayak reaksi orang-orang yang aku bayangkan saat itu kek, "apasih nih orang lebay amat".

Dan gimana akhirnya aku nyari bantuan profesional karena aku pikir aku bakal gila saat itu, ngebuktiin kalau support system-ku jelek banget. Padahal setelah melewati beberapa kali konseling dan baca beberapa buku yang bikin aku bisa berpikir jernih, ternyata masalahku nggak sebesar yang aku lihat waktu itu.

Mungkin hanya reaksiku yang berlebihan aja. Nggak mau invalidasi perasaan sendiri, semua perasaan yang aku rasain saat itu ya wajar. Kayak apa sih yang kamu harapkan buat kamu rasain, ketika mimpi pertama yang awalnya kamu pikir "mungkin" untuk digapai akhirnya pupus di hadapan kamu dan nggak ada yang bisa kamu lakuin saat itu. Pasti kecewa nggak sih?

Gimana reaksi yang berlebihan itu muncul kayaknya itu adalah hasil "ledakan" kekecewaan yang aku pendam selama ini.

Aku nggak lahir di keluarga yang punya privilege. Tapi aku sadar aku cukup beruntung buat bisa kuliah. Mungkin aku meminta terlalu banyak buat didukung. Soalnya emang dari dulu apapun yang aku suka, apapun yang aku pengen lakuin kayaknya semuanya nggak boleh sama orangtua. Rasanya iri banget ngeliat anak-anak lain yang didukung penuh orangtuanya. Entah mereka mau punya prestasi di bidang apa, kerjaan di bidang apa, orangtuanya selalu dukung.

My parents would never.

Sering banget aku kepikiran, kayak sebenarnya aku ini anak yang mengecewakan nggak sih?

Apa yang selama ini aku pikir "cukup" buat diriku sendiri kayaknya masih selalu kurang di mata mereka?

Apa karena aku yang nggak pernah mau hidup buat ngelanjutin mimpi mereka yang gagal dulu? Meskipun aku bisa, aku juga nggak mau. Apa aku terlalu "sombong" karena itu?

Apa harusnya emang dari awal aku ngedengerin apa yang mereka minta dari aku? Kayaknya salah banget aku berusaha membuat jalanku sendiri.

Dan masih banyak lagi pikiran negatif lainnya tentang itu yang kalau ditulis semua di sini cukup buat bikin aku mewek lagi.

Anyways, setelah belajar berdamai dan memilih buat merelakan mimpiku itu rasanya lebih mendingan. Aku nggak tau apakah di masa depan aku cukup gila buat berusaha mengejar mimpi-mimpi itu lagi, tapi buat saat ini aku udah cukup muak.

Aku udah cukup muak dengan narasi tentang mimpi dan cita-cita.

Aku mutusin buat berhenti "halu" dan mengerjakan semua yang aku ingin lakukan saat ini, apapun itu. Meskipun orang lain nggak suka, selama itu nggak merugikan orang ya tetap bakal aku kerjain selama aku senang. Aku nggak mau umurku habis buat menuhin ekspektasi orang.

Nggak ada rencana jangka panjang juga sih. Dan kalau ada kayaknya itu sebatas pengen bangun altar karakter gepeng yang aku suka di rumah, atau nabung buat jalan-jalan ke negara yang aku naksir banget, yang mana kalau tercapai ya alhamdulilah kalau nggak juga nggak apa-apa.

Dan buat aku di masa depan yang baca tulisan ini, aku harap kamu tetap mengingat rasa sakit yang pernah kamu rasain dulu dan bisa menghargai apapun yang kamu lakukan saat ini buat bertahan hidup.

Belajar dari orangtua yang hobi mewariskan mimpi-mimpi mereka yang gagal ke anak, aku harap juga, in case kalau aku punya anak nanti, aku harap mereka bisa menghidupkan mimpi mereka sendiri. Mimpi-mimpiku yang gagal cukup berhenti di aku aja.

Dan satu lagi, biar tidak ada kesalahpahaman di antara kita, aku sebenarnya kagum banget sama orang-orang yang passionate mengejar mimpi mereka kayak numero uno, husbando-ku, Kageyama Tobio. Aku beneran senaksir itu ngeliat orang yang sungguh-sungguh buat ngejar mimpinya. Apalagi mimpi itu kayak mimpi yang udah dari kecil mereka punya. Ngeliatnya aja aku udah ngerasa bangga banget.

Jadi ya aku turut berbahagia buat teman-teman dan orang-orang di sekitarku yang punya ability dan privilege untuk mencapai itu.

Aku benar-benar berharap kalau akan ada lebih banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpi mereka daripada yang harus merelakan.

***









*free headpat for anyone who needs it 

Postingan Populer