Kuliah; Sebuah Sudut Pandang dari Mahasiswa Semester 10

Hai! Kurang lebih tulisan ini adalah versi revisi dari "Anak SMK Perlu Lanjut Kuliah Nggak sih?" yang aku post tahun 2020 lalu.

Sebenarnya sebelum draft ini ditulis, ada banyak draft tulisan lainnya yang seharusnya dipost lebih dulu, tapi setelah membaca ulang blog tentang kuliah yang aku tulis 3 tahun lalu itu, aku kayak gemas sendiri. Jadi aku memutuskan untuk post tulisan ini dulu.

Manusia itu makhluk yang fleksibel, gampang berubah dan beberapa perubahannya memang sedrastis itu. Aku yang dulu juga kayaknya nggak menyangka aku akan merevisi tulisanku sendiri seperti ini.

Dulu aku sempat menulis bahwa niat kuliah yang datang dari diri sendiri itu penting. Karena katanya niat itu akan mengiringi sampai semester akhir, sampai titik darah penghabisan, sampai kamu ngeluh kuliah berat banget, mau udahan aja. Niat itulah yang mengingatkan kenapa kamu memulai ini sejak awal dan menghindarkan dari perilaku menyalahkan orang lain. Kurang lebih begitu.

Perlu diakui aku naif banget saat menulis itu.

Nggak ada yang salah sih sebenarnya.
Tapi rasanya agak kesal aja kalau aku baca lagi sekarang, setelah semua badai petir tsunami angin ribut yang terjadi di semester akhir.

Niat itu penting, memang. Tapi dia nggak se-powerful itu juga menurutku. Aku yang dulu seakan-akan berpikir kalau orang-orang yang kuliah overstudy itu karena kurang niat aja. Kenyataannya nggak sesimpel itu.

Analoginya kayak motor mogok. Niat dan keyakinan diri sendiri tuh ibarat bahan bakarnya. Ketika kehabisan bahan bakar, kendaraan bisa mogok. Tapi yang buat kendaraan itu tetap "bergerak" karena masih punya roda, jadi masih bisa kita dorong. Roda ini faktor lain yang berpengaruh yang membuat "kita" terus berjalan.

Terus apa yang sebenarnya menguatkan mahasiswa-mahasiswa tua ini buat tetap berjuang? Apa atau siapa yang menjadi "roda" mereka? Masing-masing orang punya jawaban yang berbeda. Banyak yang mungkin beralasan karena orangtua yang sudah sulit-sulit menguliahkan mereka. Beberapa lainnya yang kuliah dengan gaji mereka sendiri mungkin karena mengingat waktu dan uang yang mereka keluarkan.

Too complicated buat menentukan satu alasan utama, sesuatu yang memotivasi mereka buat tetap "berjalan". Nggak sedikit yang kehilangan tujuan dan motivasi di tengah jalan.

Jangankan buat namatin kuliah, buat ngeliat matahari terbit besok aja kayaknya udah muak banget.

Dan aku pernah di posisi itu. 

Kayaknya kalau bukan karena orangtua yang masih mau membiayai kuliahku, aku sudah cuti atau bahkan berhenti kuliah sejak 2-3 semester lalu. Kayak udah benar-benar di titik nol yang bahkan nggak bisa menyemangati diri buat bangkit lagi. Air mata juga kayaknya udah kering buat nangis. Tapi mereka bilang, "Nggak papa, ibu masih sanggup biayain kuliah kamu. Kamu lanjut aja."

Dan apakah setelah mendengar itu aku bangkit semangat dengan kekuatan power rangers? Tentu tidak. Butuh waktu cukup lama untuk mengumpulkan kepingan-kepingan semangatku yang berceceran entah kemana.

Tapi dengan mengetahui bahwa orangtuaku masih bersedia menghabiskan uang untuk beban keluarga sepertiku ini, cukup jadi alasan kenapa aku masih ingin lulus. Kayak kalau orang hidup ditanya, apa yang menjadi alasan kenapa kamu masih bertahan hidup? Ya karena Tuhan masih ngasih umur. Rasanya nggak perlu alasan klise kenapa harus berjuang, soalnya emang belum ada alasan juga buat berhenti.

Aku percaya kalau semua orang punya rintangan di hidupnya masing-masing. Entah yang memilih untuk kuliah atau enggak. Entah yang memilih lanjut S2, bekerja, ataupun menikah. Tapi aku harap orang-orang berhenti menyepelekan masalah orang lain hanya karena mereka nggak ikut merasakannya.

Hidup tuh udah berat, buat beberapa orang bahkan berat banget.

Di saat-saat sulit pasti ada aja masa overthinking, kepikiran gitu "kenapa ya dulu aku milih ini?", "kalau misalnya dulu aku nggak milih ini pasti bakal begini" dan sebagainya.

Kepikiran kek gitu menurutku wajar-wajar aja asal nggak berlebihan. Lagipula normalnya manusia itu berpikir untuk menghindari masalah.

Ya ngapain juga ngedeketin masalah, mending ngedeketin aku. 
.
.
.
.
Eh?

Anyways, jalan hidup orang lain mungkin terlihat enak di mata kita yang nggak ikut merasakannya. Padahal yang beneran ngerasain sendiri mah rasanya pengen tuker hidup sama kucing aja.

So apapun yang terjadi nanti, semoga kita semua nggak gampang menyesali pilihan hidup apapun yang dipilih. Karena belum tentu pilihan yang berbeda itu bakal mengantarkan kita ke kehidupan yang lebih baik juga.

Ya udah sih kayaknya tulisan ini segitu aja, makin lama ngetik makin gak jelas nanti.

 See ya!




P.s. : kalau ditanya, kalau aku bisa memutar waktu apakah aku tetap ingin kuliah dengan alur cerita yang sama?
Aku sih mending jadi ubur-ubur aja dari awal. 

Postingan Populer